Label

Rabu, 26 September 2012

Curus #4 : Kalau Setiap Petani Dipaksa Jadi Pegawai

Biasanya orang yang Kuliah Kerja Nyata ke apa yang banyak orang sebut sebagai pedesaan suka sekali memotivasi penduduk lokal untuk maju. Ya, biar bisa makan enak, bisa sekolah di mana aja, bisa jadi orang kaya, mau ke mana aja bisa, ya pokoknya biar kehidupannya bisa lebih baik gitu, ceritanya. Mulia sekali sih sebenernya, tendensinya mungkin sederhana, supaya kita sama-sama tumbuh jadi masyarakat yang bisa diajak berpikir luas. Bahasanya agak gaya sedikit, tapi bagus kan? Menurut saya itu bagus sih, setidaknya beberapa remaja tidak lagi hanya sibuk berkutat di antara cara bersolek dan makan mewah.
 

Tapi kemudian saat tiba-tiba ada ketidaksengajaan yang membuat kita akhirnya harus mundur lagi ke belakang dan berpikir ulang, maksudnya "maju" yang bagaimana nih? Jadi orang-orang ini hendak dimasukkan pada presepsi "maju" yang seperti apa? Apa kita lantas menyamakan konsep mereka tentang "hidup lebih baik" ala kita yang sudah terbiasa dengan duapuluh delapan jam bersenggama dengan layar toshiba? atau asus? atau sony? Jadi apakah kita harus mendogmakan ajaran tentang hidup lebih baik di era globalisasi yang sudah maju ini pada mereka yang kita anggap "tertinggal"? Lalu yang mana dulu yang harus kita jejalkan di otak-otak itu? Pendidikan formal? Fasilitas layar-layar genggam yang efisien? Sekelompok keyakinan bernama agama? Atau sepotong gaya hidup bernama style? Karena toh kenyataannya mereka hidup baik-baik saja dalam damai, at least, ya mereka hidup dalam kecukupan gitu.





O jelas kecukupan, sebagian besar dari masyarakat yang kaum kota sebut sebagai orang desa itu pekerjaannya adalah petani. Bukankah kebutuhan dasar kita sebagai manusia selalu berputar di antara, pangan, sandang, dan papan? Soal pangan jangan ditanya, mereka produsen utama bahan mentah. Mau cari apa saja mudah, beras, cabai, ketela, nanas, jeruk, sagu, atau apalah, tapi ya jangan cari burger di ladang, yo jelas nggak ada tumbuhan namanya burger. Sandang bisa dibuat sendiri, bung. Selalu ada banyak cara menutup kulit kita yang mudah kedinginan ini. Ya, meskipun tidak seperlente Executive atau semewah Hermes, tapi sederhananya itu cukup. Apalagi papan, mereka punya tanah yang mereka temu sendiri dan beruntungnya mereka akuisisi sendiri. Jangan main-main, tanahnya luas, bung. Mau dibangun rumah ya tinggal bangun saja, toh banyak kayu dan ranting. Tebang satu dua sudah cukup buat mereka, kan bukan untuk dijual lagi. Jadi, hey kalian yang merasa kota dan kaya raya, jangan kira mereka yang kalian sebut tertinggal itu miskin. Mereka kaya, cukup kaya kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar. Makanya, bagian mana yang harusnya kita rubah?

Kearifan masa lalu kah yang harus kita ubah? Sehingga tradisi milik eropa amerika bisa masuk menyelundup di tanah bernama jamrud khatulistiwa seolah-olah tradisi mereka yang sahih. Lalu menyamaratakan budaya yang berujung pada legitimasi kekuasaan beberapa pihak? Oh ayolah, jangan paksa petani-petani itu untuk bekerja di kantor. Sedikit miris, kalau setiap anak petani itu harus saya paksa untuk sekolah dan pergi ke kota menjadi pegawai atas nama kehidupan yang lebih baik dan mapan, njuk pie? Saat setiap petani saya paksa untuk jadi pegawai negeri atau pegawai swasta yang merupakan sinonim dari buruh, lalu siapa gan, yang hendak memberi makan kita dengan nasi dan ketela? Mau makan burger sama sepageti setiap hari? Mau makan barang hasil mutasi genetika tiga kali sehari? Memangnya, kertas-kertas yang dicetak di perum peruri itu bisa dimakan? Ingat bung, kebutuhan dasar kita itu makan! Sedangkan sebagian dari masyarakat negeri kita masih berpikir soal "besok bisa makan nggak ya?"


Terimakasih untuk bapak-bapak yang saya temui di Warmare waktu itu, yang jauh-jauh sekolah di Jogja, lulus, dan pulang lagi ke kampungnya untuk kembali bercocok tanam. Terimakasih karena berbesar hati meninggalkan kemewahan bernama kota besar dan bekerja di ladang untuk kita yang sibuk menanam saham, padahal saham belum tentu bisa dijadikan oseng-oseng atau digoreng tepung.
 

Kita mungkin bukan Jepang yang menjadikan petani dan guru sebagai pekerjaan paling bergengsi, tapi yasudahlah. Saya juga bukan kaum dengan cita-cita sebagai petani, meskipun pikiran untuk memiliki sepetak kecil sawah pernah terbesit di pikiran. Jadi, bagaimana menurut anda?

Salam olahraga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar